Resensi : Cinta Kala Perang [CKP]

Judul : Cinta Kala Perang
Penulis : Masriadi Sambo
Tanggal Terbit : 17 Februari 2014
Penerbit : Alex Media Komputindo
Tebal Halaman : 192 Halaman
Selama 35 tahun daerah Aceh dilanda konflik yang berkepanjangan. Konflik bersenjata yang berkepanjangan itu tentu mengakibatkan rusaknya tatanan sosial, trauma berkepanjangan dan perkembangan ekonomi yang melemah, bagai manusia yang sekarat digerogoti penyakit akut.
Namun, dalam perang pula masih ada semangat menyala, pada sebagian jiwa untuk terus belajar, meraih asa dan cita-cita. Nyali tak menciut karena suara senjata yang terdengar setiap hari. Itulah pesan utama yang disampaikan Masriadi Sambo dalam novelnya Cinta Kala Perang yang diterbitkan 19 Februari 2014 lalu.
Novel ini mengambil sisi lain dari konflik Aceh. Dalam novel ini kata militer dalam arti sebenarnya disamarkan menjadi pasukan penjaga keamanan negara. Novel ini berisi pesan moral, bahwa cinta bisa tumbuh di mana saja serta perjuangan menamatkan kuliah saat perang butuh perjuangan panjang.
Meski, pada situasi tak menentu dan nyawa tak berharga, perjuangan cinta dari seorang mahasiswi miskin terus menyala layaknya kobaran api yang tak pernah padam. Ialah Cut Tari seorang gadis yang akrab di sapa Tari. Ayahnya tewas ditembak oleh orang tak dikenal (OTK) ketika perang masih terjadi di Aceh.

Masriadi Sambo | FOTO By Mulyadi
Sejak saat itu, Tari dibesarkan oleh ibunya. Dia dilarang berhubungan atau berkomunikasi dengan militer (aparat penjaga keamanan negara). Bahkan, dia mengharamkan anaknya mencintai tentara.
Namun setelah ibunya tiada, Cut Tari membulatkan tekad untuk malanjutkan pendidikannya. Disinilah dia bertemu seorang tentara (Taufan) dan cinta yang tak biasa pun terjadi.
Sayangnya, cinta ini tak kesampaian karena Taufan harus segera meninggalkan medan perang. Kembali ke satuannya di pulau seberang. Meski begitu, cinta kedua hamba Tuhan itu terus melekat. Mereka kembali bertemu di saat Taufan sudah memiliki istri dan seorang anak. Lalu, bagaimanakah nasib Tari?
Sang penulis mengajak pembacanya untuk merasakan suasana konflik yang terjadi kala itu. Namun sang penulis penjabarkannya dalam sudut pandang yang lebih lembut dan lebih menyentuh hati pembaca, yaitu kehidupan seorang anak yatim piatu dan cinta.
Secara garis besar, pesan yang ingin disampaikan novel ini sangat mulia. Bahwasanya, Tari seorang anak korban konflik, tak menyimpan dendam membara dihatinya.
Pesan ini penting dibaca oleh semua masyarakat di Indonesia. Tak mudah melupakan guratan menyedihkan dalam hidup. Namun, Tari berhasil membuktikannya. Memaafkan pembunuh ayahnya, menatap hari esok lebih baik dan tetap kuliah meski perang pecah di semua arah.
Kesimpulannya, Novel ini layak dibaca oleh semua kalangan dari mahasiswa, politisi, militer hingga pejabat pemerintah. Sebagai bahan renungan, bahwa perang selalu mendatangkan kesengsaraan. Mempertahankan damai Aceh adalah sebuah harga mati demi masa depan generasi yang lebih baik.