Mencari Kesahalan Diri

BANGSA ini berada pada posisi menjadi serba ahli. Setidaknya itu yang terlihat di laman media sosial. Kerap viral pada momen seharusnya menjadi keniscayaan. Semisal, bagaimana warga net, merespon kasus penangkapan Suroto, salah satu peternak di Blitar, Jawa Timur, yang membentangkan poster sebagai protes saat kunjung Presiden Joko Widodo ke kota itu.
Lalu, Suroto diundang ke istana, meski sempat ditangkap oleh polisi. Presiden Jokowi tampak paham benar, isu viral soal peternak ini akan menjadi buah bibir dan berdaya letak pada sisi pencitraan. Sehingga, Istana mengundang untuk bicara langsung.
Warga net pun merespon dengan suka cita aksi Jokowi itu. Lalu alpa pada substansi kenapa seorang Suroto terpaksa demo tunggal untuk menyampaikan aspirasinya. Harga ayam potong anjlok dan pakan mahal. Sejatinya, Sutoro tak perlu beraksi jika Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian dan Perdagangan menjamin harga pakan dan harga jual untuk peternak di tanah air.
Fenomena lain, aksi humanis warga menyalurkan bantuan untuk masyarakat miskin juga kerap viral. Menjadi buah bibir dan menjadi pusat perhatian. Sebagian warga net memuji dan menyalahkan pemerintah. Sebagian lagi cenderung bersyukur di era digital masih banyak warga yang saling membantu.
Bukankah sifat dasar manusia Indonesia itu saling welas asih, saling bantu, dan saling berbagi? Sejak dulu. Sejak zaman nenek moyang kita.
Bangsa ini tak akan pernah merdeka, jika kata-bersatu-untuk melawan penjajahan tak melekat di jiwa para pejuang dan laskar rakyat. Itu semua dikibarkan oleh tokoh nasionalis dan ulama sebagai tokoh religius.
Mereka lah yang kemudian menyatukan, merubah pola pikir rakyat Indonesia, dari memuji penjajah dengan sebutan ndoro menjadi sebutan penjajah yang harus diusir dari bumi Indonesia.
Cerita lain, fenomena laman media sosial. Tampil publik yang serba ahli dan berkomentar di semua persoalan. Mulai mengomentari sosial politik hingga alih teknologi. Duh, ini sungguh bangsa yang super cerdas. Dari sanalah hoaxs bermunculan. Tuhan menakdirkan manusia dengan kapasitas otak terbatas. Ahli pada bidang tertentu. Dan tidak mampu menyerap seluruh ilmu pengetahuan di muka bumi.
Namun, kita seakan abai pada fakta bahwa kemampuan dan keahlian kita masing-masing sangat terbatas. Di sinilah titik tolak perpecahan bangsa. Kerap menyalahkan orang lain. Alpa akan koreksi dalam diri. Koreksi pada akal budi dan sadar akan kesalahan kita untuk berkomentar pada tema yang sama sekali tak kita pahami secara mendalam.
Sayangnya, jika awam berperilaku sebagai ahli pun keliru. Kekeliruan semakin sempurna jika elit negara juga melakukan hal yang sama. Bagaimana elit mempertontonkan tema-tema yang tidak dikuasai. Merespon pertanyaan wartawan tanpa harus berpikir bahwa dia tidak ahli dibidang itu. Bahkan tidak punya kapasitas keilmuan untuk itu.
Sebut saja soal pandemi? Bagaimana pandemi disampaikan pada publik oleh orang yang tidak memiliki latarbelakang dunia kesehatan? Lalu kita berharap agar publik percaya dan tidak termakan hoaxs. Ini sungguh menjadi pertanyaan mendasar. Maka idiom kuno, serahkan sesuatu pada ahlinya menjadi kunci bangsa ini untuk saling menghargai.
Kita butuh mereka yang bisa menjadi contoh nyata. Bukan mereka yang asal tampil di media. Tak peduli akan makna setiap bicara. Sisi lain, kita kerap berpikir untuk mengelompokan masyarakat. Menggunakan kata (saya) bukan dengan pemilihan kata (kita).
Ini menjelaskan bahwa jika bukan saya, maka yang lainnya tak berguna. Seakan mereka bukan bangsa Indonesia. Sudahlah. Akhirilah semua praktik menjadi ahli ini. Praktik seakan saya paling benar.
Bangsa ini butuh energi luar biasa. Untuk melunasi hutang negara. Membawa pendidikan dan kesehatan kita setara negara-negara Eropa. Intinya, mari kita saling mengoreksi diri. Apakah ucapan kita akan menyakiti. Atau ucapan kita didukung dengan data dan bukti. Bukan sekadar asal bunyi.