Cerita Dani kembangkan Bisnis Kopi

Dani (22), mahasiswa semester akhir Universitas Malikussaleh (Unimal) Aceh Utara, memajang aneka kopi di kampusnya, Jumat (29/11/2019). Pria asal Simpang Tiga, Kecamatan Redelong, Kabupaten Bener Meriah itu memberanikan membuka label sendiri usaha kopi miliknya. Seranting Kopi.
Sejak Oktober lalu, dia ingin mandiri. Sebelumnya, sembari kuliah dia menjadi agen pemasaran sejumlah merk kopi Gayo dari Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Kabupaten Gayo Lues, Aceh.
“Saya ingin memajukan kopi saya sendiri. Langsung dari kebun orang tua saya,” katanya tersenyum.
Untuk langkah awal, dia pun mendirikan Yolandfee, sebagai brand awal. Belakangan, dia menyadari brand itu kurang mudah dikenal penikmat kopi. Sehingga, dia pun mengganti menjadi seranting kopi. Seranting, kata Dani bermakna setangkai, bisa juga secangkir kopi.
Di tengah banyaknya merk kopi asal dataran tinggi Aceh itu, pria ini mencoba keberuntungan. “Dengan modal kecil-kecilan dulu. Saya pasarkan ke warung-warung kampus, dan sejumlah minimarket di Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe,” katanya.
Tak tanggung-tanggung, dia pun menyiapkan paket berat 100 gram per bungkus. Tersedia empat jenis kopi seperti spesial honey dijual Rp 25 ribu, arabika eklusif Rp 23 ribu, specialty blend Rp 20 ribu dan kopi tradisional gayo Rp 15 ribu per bungkus.
Untuk memajukan petani kopi, sambung Dani, harus dimulai dengan menguasai pasar kopi. Dia belajar banyak sebagai sales kopi selama empat tahun terakhir. Karena itu pula, kebun kopi milik orangtuanya seluas setengah hektare kini tak lagi menjual ke pengepul.
“Saya bilang ke orang tua, kita jual kopi sendiri saja. Saya yang jual, ayah dan ibu yang memilih jenis kopi yang akan dijual, misalnya ke jenis honey dan lain sebagainya. Jadi, ini langkah saya memajukan bisnis kopi orang tua saya yang seumur hidupnya menjadi petani,” katanya.
Dengan brand milik sendiri, Dani berupaya mengenalkan kopi gayo itu ke dunia. Selama ini, menurutnya kopi gayo dikenal di Eropa. Sayangnya, sebagian besar menggunakan merk dagang milik pengusaha eropa.
“Mereka beli dari Gayo, tapi merknya tetap milik mereka sendiri. Ini membuat seakan-akan barang itu milik mereka, asalnya jarang disebut,” katanya.
Soal kualitas kopi, sambung Dani, dunia sudah mengakui kopi Gayo sebagai salah satu kopi terbaik dari Indonesia. Namun, Dani ingin kopi itu dikenal dengan merk dagang sendiri.
“Saya ingin ini dari Gayo sendiri, merk gayo, saya orang Gayo tentu akan bangga sekali bisa memajukan kopi langsung dari petaninya. Langkah awal punya orang tua dulu, nanti yang lainnya,” terangnya.
Dani enggan menyebutkan omsetnya. Maklum, sambung Dani, bisnisnya belum begitu berkembang. Namun, omset itu sambungnya bisa lebih menguntungkan dibanding langsung menjual bulir kopi ke pengepul.
“Kalau diolah begini, dipilih bijinya, dikemas dan dijual itu jauh lebih untung dibanding langsung panen dan jual ke pengepul,” terangnya.
Dia berharap, bisnisnya terus berkembang. Tekadnya memasarkan kopi miliknya terus tumbuh. Berharap kopi itu akan terus dikenal. Bukan sebatas bisnis, namun untuk mensejahterakan petani kopi.
“Agar petani makmur, dengan merk dagang sendiri. Saya coba lewat saya, nanti saya bagikan pengalaman ini ke petani lainnya,” pungkasnya.